Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Senin, 04 Juli 2011

UN dan Dualisme Pembelajaran


ADA pernyataan menarik dari Dirjen Mandikdasmen Suyanto (Kompas, 21/1, hlm 14). Ia menyatakan, ujian nasional (UN) dapat memacu semangat siswa dan guru untuk meningkatkan prestasi. Sepintas, pernyataan guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu bisa diterima akal sehat, namun persoalannya justru muncul di sini, semangat macam apa yang dimiliki para siswa dan guru kita dalam menghadapi UN?
Harus diakui, setiap kebijakan pendidikan membawa dampak yang beragam dan cenderung bersifat dualisme. Dalam konteks UN, misalnya, adanya penambahan mata pelajaran dari tiga menjadi enam di tingkat sekolah menengah atas, diharapkan menjadi faktor pendorong bagi siswa untuk lebih rajin belajar di rumah. Lagi pula, pihak sekolah juga amat responsif dengan memberikan materi pelajaran tambahan seusai jam pelajaran. Itulah sisi positif UN.Namun, di sisi lain, menurut hasil jajak pendapat Litbang Seputar Indonesia (18/11/2007, hlm 10), penambahan mata pelajaran justru menambah beban bagi para siswa, terutama beban psikologis. Betapa tidak, waktu istirahat yang dimiliki siswa menjadi berkurang, lantaran mereka harus ikut pendalaman materi lewat kursus/les. Belum lagi mereka juga harus memikirkan dana tambahan untuk kebutuhan tersebut.
Akibatnya, secara psikologis, kendala-kendala tersebut malah mengakibatkan siswa jadi terbebani. Alih-alih bisa konsentrasi menghadapi ujian, justru siswa jadi stres karena pikiran-pikiran tersebut. Terlebih, pada UN tahun lalu banyak siswa yang dinyatakan tidak lulus. Padahal, ketika itu mata pelajaran yang diujikan hanya tiga. Jika tahun 2008 ditambah menjadi enam, jumlah siswa yang tidak lulus diprediksi akan bertambah.
Kondisi demikian, dikhawatirkan akan membuka peluang terjadinya beragam kecurangan, seperti pembocoran soal ujian atau pengatrolan nilai. Rata-rata kecurangan tersebut cenderung didorong oleh motif mengejar standar kelulusan bagi siswa. Sebab, nilai standar kelulusan UN selalu naik tiap tahunnya, dan hal itu membuat siswa kebingungan. Di tengah tekanan psikologis dan keinginan lulus, akhirnya banyak siswa berbuat curang.Dari faktor guru, mereka jadi giat mengajar dan belajar dalam menghadapi UN karena dimotivasi keinginan untuk memenuhi pesan pemerintah daerah (pemda) agar persentase kelulusan siswa tinggi. Lebih dari itu, sekolah juga cenderung memprioritaskan mata pelajaran yang termasuk dalam UN. Apakah semangat macam ini yang dimaksud Bapak Dirjen itu? Entahlah. Yang pasti, pelaksanaan UN justru memunculkan dualisme pembelajaran.Betapa tidak, proses pembelajaran di kelas menunjukkan hal itu. Para siswa dilatih serta dikondisikan siap untuk menyiasati soal. Mereka di-drilling bisa menjawab ratusan soal. Bahkan, ada pihak sekolah yang sudah menerapkan proses itu sejak awal masuk ke kelas III. Bukan itu saja, guru-guru, terutama kelas I dan II diarahkan untuk terfokus mempersiapkan UN di kelas III. Kondisi silang-sengkarut ini masih terus berlangsung hingga kini.Tentu, kita dapat menerka akibat dari pelaksanaan UN, yakni proses pembelajaran di kelas menjadi kaku dan lebih berorientasi tunggal (baca: lulus UN). Terlebih, bentuk soal dalam UN berupa pilihan ganda (multiple choice) yang membutuhkan satu jawaban dan bersifat pasti. Akibatnya, guru di kelas menjadi bersikap paternalistik, artinya siswa hanya diminta mendengarkan dan mematuhi apa jawaban/perkataan yang diucapkan oleh guru.Ini berbeda dengan bentuk soal esai yang, sayangnya, cenderung tidak disukai sebagian besar siswa. Padahal, jika kita melihat esensinya lebih jauh, penggunaan soal esai cenderung bisa membuat pikiran siswa lebih kreatif. Mereka lebih dikondisikan untuk bebas mengembangkan pikirannya sendiri, serta jauh dari pengekangan melalui pen-drilling-an yang bersifat rutin dan amat membosankan guru dan siswa.Dalam konteks itu, saya sepakat dengan Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, UN mengakibatkan proses belajar di dalam kelas bertambah kering (Kompas, 5/11/2007). Mengapa? Karena, baik sekolah, guru, maupun siswa lebih mengedepankan hasil akhir (melalui UN) sebagai hal terpenting daripada proses belajar. Jika situasi ini yang berkembang, ada kekhawatiran proses pembelajaran akan timpang.Lebih dari itu, guru yang dianggap sebagai insan pendidik yang memiliki tugas membangun karakter siswa menjadi luntur. Dalam sejumlah kasus kecurangan menjelang UN, tak sedikit guru yang berbuat nista: mencuri soal ujian, memberikan bocoran soal, hingga menyebarkan kunci jawaban. Jika guru, sosok yang seharusnya digugu dan ditiru berbuat curang begitu, bagaimana pula moral para siswanya?Oleh karenanya, alasan utama penyelenggaraan UN, yakni agar siswa terpacu dan belajar keras jelas tidak terbukti. Pada kenyataannya, justru kebijakan UN membuat pembelajaran bersifat dualisme. Dari situ, terbaca jelas bahwa semua pihak memiliki beban untuk mempertahankan reputasi masing-masing melalui UN. Atas kondisi itu, wajar jika banyak orang lebih memilih jalan pintas yang jauh dari nilai-nilai pendidikan. Ayo semangat ber-UN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar