Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Senin, 04 Juli 2011

Sinergi IQ-EQ Dalam Proses Belajar-Mengajar


DALAM sebuah kelas terjadilah interaksi antara guru bahasa Inggris dan para siswa. Guru tersebut melontarkan pertanyaan sederhana, “How are you?” Dengan serempak, para siswa menjawab, “I’am fine.” Ketika menyimak jawaban itu, guru itu merenung dan bertanya. Mengapa hanya satu jawabannya, padahal siswanya berjumlah 30 orang. Padahal ia mengharap agar siswa-siswanya memiliki jawaban yang variatif. Misalnya, “I’am good.”, “I’am be happy”, dan sebagainya.
Selang beberapa hari, guru itu kembali melontarkan pertanyaan kepada para siswanya, “How is life?” Kontan, siswa-siswanya bingung dan tak tahu akan menjawab apa. Melihat kondisi itulah, akhirnya guru tersebut berpikir. Mengapa para siswanya tidak bisa menjawab pertanyaan “How is life?”, padahal esensinya tidak jauh beda dengan pertanyaan sebelumnya. Guru itu pun akhirnya merenung kembali, “Jika seperti ini terus, kelak pelajaran bahasa Inggris akan membosankan dan tidak kreatif. Apa yang bisa saya lakukan saat ini?”
Sepotong kisah di atas barangkali banyak kita jumpai, khususnya di dunia pendidikan kita. Sebagai seorang sarjana pendidikan, saya ikut merasa prihatin atas situasi dalam kisah tersebut. Sejujurnya saya katakan, situasi pembelajaran, apa pun mata pelajarannya, di sekolah saat ini cenderung membosankan dan tidak kreatif. Pertanyaannya, mengapa situasi pembelajaran cenderung membosankan dan tidak kreatif? Dengan diplomatis saya menjawab, karena siswa belum merasa dihargai sebagai subjek pendidikan. Mari kita cermati.
Dalam proses pendidikan, kegiatan belajar-mengajar memiliki peran yang amat penting. Jika kegiatan itu berjalan dengan baik dan terencana, hasilnya pun akan baik. Sebaliknya, jika kegiatan itu berjalan tidak baik dan tidak terencana, hasilnya pun juga tidak baik. Kesemuanya bergantung dari guru dan para siswa di kelas. Apa pasal? Sebab, keduanya merupakan bagian yang terintegrasi dari upaya membangun proses belajar-mengajar yang interaktif. Di samping itu, keduanya pun menjadi faktor penentu berhasil-tidaknya proses pembelajaran.
Sekurangnya ada enam hal yang perlu diketahui guna mewujudkan suatu inovasi dalam proses belajar-mengajar. Di antaranya, (1) hakikat pembelajaran; (2) teknik dan metode pembelajaran; (3) prinsip pembelajaran; (4) cara-cara atau metode penerapan manajemen kelas secara efektif; (5) teori-teori belajar; dan (6) profesionalisme dalam pembelajaran (Suyanto, 2004: 1-2). Dengan mengetahui kesemuanya, diharapkan proses belajar-mengajar yang selama ini membuat siswa-siswa cenderung menjadi tidak kreatif dan bosan, kelak bisa teratasi.
Hakikat Pembelajaran. Dalam sistem pengajaran yang umum di sekolah akan berlangsung proses pembelajaran. Meskipun ada banyak definisi tentang belajar, namun yang utama dari proses belajar ialah terjadinya perubahan pada orang yang belajar. Mengutip Wolfolk dan Nicolich, “Learning always involves a change in the person who is learning.” Ditambahkan, “To qualify as learning, this change must be brought about by experience, by the interaction of a person with his or environment.” (Suyanto, 2004: 2).
Jelas, dari definisi itu bahwa pengalaman merupakan aspek penting dari belajar.
Perubahan yang terjadi pada siswa setelah mengikuti proses pembelajaran harus disebabkan oleh pengalaman (experience). Ini artinya, dalam proses belajar harus terjadi pengayaan pengalaman dalam bidang studi yang dipelajarinya dalam konteks kehidupan riil. Apalagi jika siswa nanti dituntut untuk memiliki kinerja yang prima dan oleh karena itu, ia harus mampu bertindak kreatif (creative) dan inovatif (innovative), serta mampu berkomunikasi dengan masyarakat.
Jika demikian halnya, berarti pemberian pengalaman kepada para siswa di kelas mestinya direncanakan secara sadar. Dalam hal ini, tolok ukur yang nanti digunakan ialah aspek kekinian, ketepatan, dan keefektifannya. Tanpa ada upaya yang sadar, para guru mustahil akan mampu memberi pengalaman yang berharga bagi para siswanya. Akibatnya, siswa tersebut tidak berani mengambil risiko dalam hidupnya. Seperti ditulis Rendra, “Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?”
Sebelum kita ungkap metode pembelajaran, ada baiknya kita pahami dulu bagaimana proses belajar yang baik. Menurut Gagne, proses belajar yang baik diawali dari fase motivasi (Suyanto, 2004: 4-5). Mengapa demikian? Sebab, dari motivasi-lah akan muncul harapan-harapan terhadap apa yang dipelajari. Nah, jika siswa memiliki motivasi dan harapan tinggi, kelak ada kemungkinan ia akan berhasil dalam proses belajarnya. Sebaliknya, jika siswa tidak memiliki motivasi, dipastikan ia tidak akan berhasil atau tidak bisa meraih hasil optimal.
Oleh karenanya, amatlah wajar jika tugas utama para guru di kelas ialah menghidupkan motivasi belajar pada siswa. Begitu motivasi dapat dibangkitkan, kita akan lebih mudah merencanakan tahap-tahap selanjutnya. Terlebih, motivasi terkait erat dengan harapan siswa untuk bisa meraih hasil yang optimal. Untuk itu, para guru dituntut untuk melakukan inovasi pembelajaran. Misalnya, ketika ia mengajar sangat diupayakan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mampu mengembangkan emosi, sosial, dan kognitif para siswa.
Namun, kecenderungan yang ada saat ini tolok ukur berhasil-tidaknya seseorang belajar selalu mengacu pada faktor kognitif (IQ-intelligence quotient). Implikasinya, sekolah hanya mementingkan hard knowledge dan mengabaikan soft knowledge. Buktinya, masih digunakannya nilai berupa angka kelulusan UN, NEM, IPK, dan sejenisnya. Dari situlah, berkembang situasi pembelajaran yang lebih menekankan aspek kognitif saja, tak terkecuali pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Betul, apa yang diungkapkan Anton Moeliono (2004) bahwa guru dalam mengajar pelajaran bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun bahasa asing, lebih mengutamakan hal formal seperti struktur dan tatanan bahasa. Ditambahkan, “Pengajaran bahasa apa pun seharusnya mengandung tiga hal pokok. Pertama, aspek kognitif. Kedua, aspek psikomotoris. Ketiga, aspek afektif.” Dalam buku Bu Slim & Pak Bil: Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (2005), Hernowo mengungkapkan ketiganya secara lebih jelas.
Hernowo menulisnya, “Pertama, aspek kognitif misalnya dalam pelajaran bahasa adalah menangkap yang dimaksudkan oleh kalimat atau paragraf. Kedua, psikomotis, yakni menerapkan materi yang dipelajari. Secara lisan, peserta didik mampu bercerita dan secara tulisan terampil dalam mengarang serta membedakan berbagai jenis karangan.” Selanjutnya, “Ketiga, aspek afektif, yaitu kemampuan guru menimbulkan rasa tertarik dan kebanggaan pada mata pelajaran bahasa.” Itu bisa terlihat dari keterampilan anak dan aplikasinya.
Jika ingin mengacu rumusan ideal Anton Moeliono tersebut, kiranya kita sarankan agar para guru mau melibatkan unsur emosi (EQ-emotional intelligence) ketika mengajar di kelas. Dengan begitu, proses belajar-mengajar akan diminati dan kelak bisa mencapai keberhasilan. Secara tidak langsung, guru diajak untuk mengembangkan potensi otak kanan siswa yang selama ini terabaikan, karena fokus proses pembelajaran di sekolah lebih mengutamakan pengembangan potensi otak kiri saja.
Metode Pembelajaran. Di antara ragam metode pembelajaran yang kita ketahui saat ini, salah satunya ialah metode berorientasi kontekstual. Tokoh yang mempopulerkan metode tersebut, khususnya di Indonesia, ialah Dr Arief Rachman, seorang pakar pendidikan. Dalam metode pendidikan kontekstual, siswa diajarkan untuk kreatif, terutama menemukan jawaban yang berbeda dengan jawaban guru. Situasi begitu, mengingatkan saya, terutama pada kisah guru bahasa Inggris yang tertuang di bagian awal tulisan ini.
Bahwa, metode pembelajaran yang berkembang pada umumnya di sekolah ialah metode fungsional. Adapun kriteria dari metode tersebut, yaitu (1) memiliki standar obyektivitas yang kaku, (2) pendekatan yang digunakan oleh guru lebih berdasar tingkah laku, dan (3) mengacu pada pengembangan kognitif. Akibatnya, siswa akan lebih suka menghafal materi ketimbang memahami esensi dari ilmu yang disampaikan oleh guru di kelas. Konkretnya, siswa tidak mau mencari hal-hal baru karena ia lebih suka “menerima”, bukan “mencari”.
Situasi demikian, kian menyuburkan apa yang disebut Dr Arief Rachman, yakni “pembodohan peserta didik.” Mengapa? Sebab, guru (juga dosen) selalu memotong pertanyaan peserta didik yang kelewat kritis. Padahal, pertanyaan tipe itu merupakan salah satu ciri orang yang kreatif. Akan tetapi, lazimnya guru (juga dosen) karena memiliki keterbatasan ilmu, ia cenderung bersikap defensif, bahkan arogan. Sehingga manakala ada peserta didik yang mengajukan pertanyaan, guru tiba-tiba menganggap itu sebagai upaya penjatuhan wibawanya.
Ini berbeda dengan metode lainnya, metode kontekstual. Ciri khas metode tersebut, yaitu (1) memiliki unsur keterbukaan untuk menerima berbagai hasil dari proses pencarian peserta didik, (2) pendekatan yang digunakan lebih mengarah ke kompetensi individu, dan (3) mengacu pada pengembangan sosial-emosi-kognitif secara integratif. Jika metode ini diimplementasikan, kelak tercipta atmosfir yang memungkinkan kreativitas pada diri siswa. Di samping itu, hubungan antara guru dan siswa lebih akrab dan menyenangkan.
Paradigma Baru Pembelajaran. Harus kita akui, implikasi dari penerapan metode pembelajaran fungsional di sekolah selama ini ternyata tidak membuat siswa menjadi mandiri dan kreatif. Itu disebabkan banyak hal, salah satunya ialah, terlalu menekankan aspek kognitif atau intelektual (IQ). Padahal, menurut Daniel Goleman, seorang doktor psikologi jebolan Harvard University, AS, “IQ hanya menyumbang 20% dalam keberhasilan hidup seseorang, sedangkan EQ atau kecerdasan emosional menyumbang sekitar 80%.”
Oleh karenanya, amatlah penting jika kita mengembangkan faktor EQ dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Itu diambil agar para lulusan sekolah memiliki kemandirian, percaya diri, dan mampu berkomunikasi secara efektif di lingkungannya. Mengutip Patricia Patton, “IQ is an unchangeable genetic factor which we are born with. EQ is not. We can improve it with commitment, practice, knowledge, and will.” (Suyanto, 2004: 7). Pendek kata, IQ tidak bisa ditingkatkan, sedangkan EQ bisa ditingkatkan secara simultan.
Setali tiga uang dengan rencana pengembangan EQ dalam proses belajar-mengajar, kiranya kita amat perlu mengerti tentang sifat-sifat manusia. Menurut Patton ada lima sifat: (1) self-awareness ‘kesadaran diri’, (2) mood management ‘manajemen suasana hati’, (3) self-motivation ‘motivasi diri’, (4) impulse control ‘pengendalian insting’, dan (5) people skills ‘keterampilan’. Jika kelima sifat itu bisa dikembangkan, kelak pembelajaran akan menyenangkan; dan setiap siswa akan mampu menjadi orang yang mandiri dan kreatif.
Tiga Komponen Pembelajaran. Guna mengimplementasikan pembelajaran yang berdasar pengembangan EQ, kita perlu memperhatikan tiga komponennya. Di antaranya, guru, siswa, dan kurikulum. Dari segi guru, misalnya, paling tidak harus memiliki visi dan misi yang jelas terhadap masa depan para siswa. Ia harus well informed dalam bidang yang diajarkannya. Tegasnya, guru harus memiliki kemampuan untuk memprediksi mengenai apa yang kelak muncul dan apa yang tenggelam dari aplikasi bidang studi yang akan diajarkannya.
Sekurangnya guru bisa membawakan materi pelajaran bidang studinya secara menyenangkan kepada para siswa di kelas. Misalnya, melalui film, cerita, kegiatan lapangan, dan berkesenian. Dengan media tersebut, kita harapkan para siswa termotivasi untuk mau belajar dan belajar. Di level TK, misalnya, guru mau tidak mau harus pintar bercerita karena siswa TK lebih mudah memahaminya. Apalagi jika cerita yang dibawakan berisikan nilai-nilai budi pekerti dan juga soal perkembangan teknologi terkini.
Akan tetapi, penyajian pelajaran melalui cerita, khususnya di level TK ternyata tak mudah. Guru harus dituntut kreatif, dan pandai memainkan ekspresi dan dramatisasi suasana sehingga perhatian siswa terfokus. Dengan begitu, siswa akan merasa terlibat dalam pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, interaksi guru dan siswa akan terasa menyenangkan dan memunculkan keingintahuan siswa. Di sisi lain, guru pun menjadi aktif mencari materi ajar dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, tabloid, koran, Internet, dan sebagainya.
Sedangkan di level SD, SMP, dan SMA lebih diarahkan untuk memahami pelajaran melalui media-media belajar yang bersifat visual (gambar). Misalnya, film dokumenter. Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya, jika guru membawa CD yang berisikan puisi-puisi dari website www.cybersastra.net, kelak siswa tak hanya memahami teori tentang puisi. Lebih dari itu, mereka akan juga paham tentang model, karakter, serta cara pengucapan dalam karya-karya penyair yang disiarkan pada umumnya di Internet.
Dengan membawa media itu, guru diharapkan bisa menghindarkan dirinya dari apa yang disebut Paulo Freire, yakni “banking concept of education.” Konsep itu lebih memosisikan guru sebagai pihak yang selalu “mendepositokan” materi kepada para siswa, padahal siswa-siswanya tidak tahu perihal kegunaan materi itu. Sejauh diamati, konsep pendidikan bergaya “bank” itu lebih cenderung membuat siswa tidak kreatif. Dalam filsafat kuno, siswa senantiasa diberikan “ikan”, tanpa pernah diberikan “kail dan alat pancing.”
Segi lainnya, segi siswa yang perlu diberdayakan dan memberdayakan diri agar proses belajar-mengajar dapat berjalan optimal. Itu terkait dengan salah satu rumus keberhasilan EQ. Yaitu, bahwa langkah pertama mengembangkan potensi EQ ialah pemahaman diri (self-understanding), dan keinginan untuk pertumbuhan diri sendiri (a desire for personal growth). Pada gilirannya, setelah langkah itu dilakukan kelak bisa diikuti tahap-tahap belajar selanjutnya. Dengan begitu, kelak nantinya akan terlahir para lulusan yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Selanjutnya dari segi kurikulum, dinilai perlu mengalami pembenahan. Ini terlihat dari penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan situasi zaman dan potensi pemangku kepentingan pada satuan pendidikan. Itu sebabnya, kurikulum tidak sepantasnya seragam dan kaku. Jika saat ini guru mampu mengkreasikan kurikulum, kelak para siswanya terlatih menjadi orang yang kreatif. Untuk itulah, pemberian pengalaman kurikuler guru yang relevan dengan kehidupan riil siswa-siswanya, dipastikan dapat bermanfaat.
Strategi lainnya, yang juga memiliki kesamaan tujuan agar pengembangan sistem pembelajaran lebih baik. Yaitu, berupa penciptaan visionary instructional leadership. Dalam strategi ini pembelajaran di sekolah harus dilakukan guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang berdasar visi masa depan (visioner). Oleh karena itu, guru harus berlaku layaknya leader, dan bukan bertindak sebagai boss. Di simpul itu, guru menjadi faktor penentu bagi keberhasilan siswanya di kelas melalui penanaman nilai-nilai dan jiwa kreatif.
Kesimpulannya: pertama, perlunya re-orientasi proses belajar-mengajar di seluruh lembaga pendidikan. Awalnya orientasi itu menitikberatkan pada aspek kognitif diubah menjadi aspek kognitif-psikomotoris-afektif. Kedua, kini saatnya kita kembangkan EQ guna meraih keberhasilan dalam pendidikan. Konkretnya, kita gagas-kembali pendidikan yang berbasiskan emosi. Ketiga, proses belajar di mana pun dan kapan pun, tetap membutuhkan emosi sebagai pengayaan. Untuk itulah, sinergi EQ-IQ diperlukan guna memperkaya pendidikan. Semoga![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar