Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Rabu, 27 Juli 2011

Sop Buntut Tulang Lunak


Mantap sopnya, siapa yang pingin pasti akan ketagihan, rasanya enak tenan....dan yang pasti akan menambah tenaga.

Selasa, 26 Juli 2011

Model Pembelajran


Model Pembelajaran - Metode Mengajar“Cara mengajar yg dpt digunakan untuk semua bahan pelajaran” Misalnya:
Metode: ceramah, penemuan, ekspositori, diskusi, tanya jawab, pemecahan masalah, dsb. Teknik Mengajar“Cara mengajar yg memerlukan keahlian khusus atau bakat khusus”
Beberapa model pembelajaran matematika antara lain :


A.    Model pembelajaran dengan pendekatan induktif dan deduktif.

Kedua pendekatan ini merupakan pendekatan yang ditinjau dari interaksi antara siswa dengan bahan ajar. Kedua pendekatan ini saling bertentangan. Pendekatan deduktif merupakan suatu penalaran dari umum ke khusus, sedangkan pendekatan induktif suatu penalaran dari khusus ke umum.

  • Pendekatan deduktif berdasarkan penalaran deduktif.
  • Penalaran deduktif = cara berpikir menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus.
  • Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogisme; terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan (konklusi)
  • Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis): Premis Mayor dan Premis Minor.
  • Kesimpulan diperoleh sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premi itu.



B.    Metode Ceramah yang Menyenangkan


Metode ceramah yang monoton, memanglah dirasakan sangat membosankan bagi para peserta didiknya, apalagi bila disajikan dalam bentuk dongeng, yang berfungsi sebagai pengantar siswanya untuk tidur di malam yang hening, bahkan kadang kala si pengajar melenceng dari materi yang semestinya disampaikan, justru ia malah menceritakan tentang keadaan keluarganya, sampai ke para tetangganya, seolah-olah si guru itu curhat kepada muridnya. Hal ini serupoa dengan sebuah situs dari internet yang menceritakan

Ini adalah contoh nyata dari bumi belahan lain di dunia pendidikan, oleh karena itu kita sebagai calon guru masa depan yang baik, haruslah mempersiapkan segala sesuatunya, baik itu dari segi disiplin ilmu, pemahaman segala konsep dan teknik segala keterampilan, hubungan sosial terhadap lingkungan, serta akhlak dari personal kita sendiri, karena bukanlah tidak mungkin, kisah dosen tadi terjadi pada diri kita, menjadi seorang pengajar yang membosankan, tidak menarik, bahkan sampai dijuluki ‘monster’ oleh anak didik kita sendiri.

C.    Model pembelajaran dengan pendekatan ekspositori

Pendekatan ekspositori merupakan suatu pendekatan yang ditinjau dari interaksi guru dengan siswa. Dalam pendekatan ini semata-mata siswa tinggal menerima apa yang disajikan oleh guru. Jadi guru telah mempersiapkan dan merencanakan secara sistimatis sehingga siswa dapat menerimanya dengan mudah. 

Untuk itu dalam proses pembelajaran guru perlu melakukan apersepsi, yaitu mengingatkan kembali pengetahuan yang berkaitan dengan bahan ajar yang akan disajikan. Dalam pembelajaran ini guru menjelaskan panjang lebar, jika perlu guru membuat gambar maupun menggunakan media yang dianggap dapat lebih mempermudah siswa memahami bahan ajar yang disampaikan.

D.    Model pembelajaran dengan Pendekatan Proses

Dalam pendekatan ini guru menciptakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi sedemikian sehingga siswa terlibat secara aktif dalam berbagai pengalaman. Atas bimbingan guru siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Menurut Sagala (2003), dalam pendekatan proses ini yang dapat dilakukan siswa antara lain: mengamati gejala yang timbul, mengklasifikasikan, mengukur besaran-besarannya, mencari hubungan konsep konsep yang ada, mengenal adanya masalah, merumuskan masalah, merumuskan hipotesa, melakukan percobaan, menganalisis data dan menyimpulkan.Dalam pembelajaran PKn tidak semua aktifitas seperti tersebut diatas dilaksanakan.


E.    Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Dalam menggunakan metode penemuan terbimbing, peranan guru adalah: menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja. Siswa mengikuti pertunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya.

Penemuan terbimbing biasanya dilakukan dengan bahan yang dikembangkan pembelajarannya secara induktif. Guru harus yakin benar bahwa bahan “yang ditemukan” sungguh secara matematis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Seringkali peranan guru dalam penemuan terbimbing diungkapkan dalam lembar kerja penemuan terbimbing. Lembar kerja ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa menemukan konsep atau terutama prinsip (rumus, sifat). Penyusunan lembar kerja jenis ini biasanya
diawali dari guru menyiapkan secara lengkap tahap demi tahap dalam menjelaskan adanya suatu sifat atau prinsip atau rumus.

Penjelasan ini dituang dalam suatu tulisan secara lengkap. Kemudian dipikirkan, jika penjelasan itu dilakukan di kelas, dan dilakukan dengan tanya jawab, dicatat di bagian manakah yang kiranya perlu digunakan sebagai bahan tanya jawab. Bagian yang ditanyakan ini dapat berupa pendapat siswa tentang bahan yang lalu yang perlu digunakan dalam pengembangan konsep,atau pendapat siswa tentang tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam melangkah, atau isian yang berupa bilangan atau kata kunci dalam menuju tujuan penemuan tersebut. 

Bagian-bagian yang perlu ditanyakan tadilah yang perlu dihapus dari catatan penjelasan lengkap, dan dalam lembar kerja diungkapkan dalam bentuk tempat kosong atau titik-titik yang harus diisi oleh siswa Strategi Dan Pendekatan Dalam Model Investigasi Flenor (1974) membagi kegiatan guru menjadi 5 (lima) tahap:  

  1. Apersepsi
  2. Investigasi
  3. Diskusi
  4. Penerapan dan  
  5. Pengayaan

Pada investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator yang memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru. Guru juga berperan dalam mendorong siswa untuk dapat memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya.

Kadang mereka memang memerlukan orang lain, termasuk guru untuk dapat menggali pengetahuan yang diperlukan, misalnya melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah, detail atau rinci. Dengan demikian guru harus selalu menjaga suasana agar investigasi tidak berhenti di tengah jalan. Dalam hal investigasi yang dilaksanakan secara berkelompok, Lazarowitz dan kawan-kawannya (1988) dan juga Sharan dan para koleganya (Sharan et al, 1989; Sharan & Sharan, 1990) mendisain model kelompok investigasi yang memberikan kemungkinan siswa untuk melakukan berbagai pengalaman belajar. 


Para siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan 

  1. Mengidentifikasi topik dan mengorganisasi kelompoknya dalam “kelompok peneliti”, 
  2. Merencanakan tugas pembelajaran,  
  3. Melaksanakan penyelidikan,   
  4. Menyiapkan laporan,  
  5. Menyampaikan laporan akhir, 
  6. Mengevaluasi program.  

Diskusi kelompok maupun diskusi kelas merupakan hal yang sangat penting guna  memberikan pengalaman mengemukakan dan menjelaskan segala hal yang mereka pikirkan dan membuka diri terhadap yang dipikirkan oleh teman mereka. Pengalaman yang baik seperti ini akan memotivasi siswa untuk belajar dan mau menyelidiki (menginvestigasi) lebih lanjut. Pengalaman bekerjasama dalam banyak hal sangat sesuai dengan semangat gotong royong yang telah berkembang sejak lama di bumi tercinta Indonesia ini. Hal ini perlu selalu dikembangkan dengan melatihkannya kepada para siswa. 

Dalam kerja kelompok siswa, Malone dan Krismanto (1993) menemukan bahwa sebagian besar siswa menginginkan mereka sendirilah yang menentukan anggota kelompok kegiatan, dengan banyak anggota 3 − 5 orang siswa campuran putra dan putri dan dengan berbagai tingkat kemampuan siswa.
Hal ini sesuai dengan Sharan (1980) bahwa kelompok semacam itu memberikan efektifitas dalam peningkatan hasil belajar siswa.

Sikap dan kemauan siswa dalam menggunakan pendekatan investigasi tidak terlepas dari  kegemaran siswa akan matematika, pemahaman siswa tentang kegunaan matematika dan keberanian siswa untuk membentuk sendiri pengetahuan matematika mereka. Ini sesuai dengan paham yang dikembangkan oleh para pakar dan peneliti serta penganut konstruktivisme. Karena ituseberapa jauh keberhasilan penggunaan pendekatan investigasi juga antara lain tergantung ketiga faktor. Karena itu maka guru juga perlu mengetahui seberapa jauh hal di atas dimiliki siswa disamping berusaha untuk lebih memberikan pemahaman kepada para siswa

pengertian jigsaw


Metode  jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.
jigsawSetiap siswa yang ada di “kelompok awal” mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit pembelajaran. Para siswa kemudian bertemu dengan anggota kelompok lain yang ditugaskan untuk mengerjakan bagian yang lain, dan setelah menguasai materi lainnya ini mereka akan pulang ke kelompok awal mereka dan menginformasikan materi tersebut ke anggota lainnya.
Semua siswa dalam “kelompok awal” telah membaca materi yang sama dan mereka bertemu serta mendiskusikannya untuk memastikan pemahaman.
Mereka kemudian berpindah ke “kelompok jigsaw” – dimana anggotanya berasal dari kelompok lain yang telah membaca bagian tugas yang berbeda. Dalam kelompok-kelompok ini mereka berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain dan mempelajari materi-materi yang baru.
Setelah menguasai materi baru ini, semua siswa pulang ke “kelompok awal” dan setiap anggota berbagi pengetahuan yang baru mereka pelajari dalam kelompok “jigsaw.” Seperti dalam “jigsaw puzzle” (teka-teki potongan gambar), setiap potongan gambar – analogi dari setiap bagian pengetahuan – adalah penting untuk penyelesaian dan pemahaman utuh dari hasil akhir
Jigsaw adalah teknik pembelajaran aktif yang biasa digunakan karena teknik ini mempertahankan tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi.
Fasilitator dapat mengatur strategi jigsaw dengan dua cara:
Pengelompokkan Homogen
Instruksi: Kelompokkan para peserta yang memiliki kartu nomor yang sama. Misalnya, para pe­serta akan diorganisir ke dalam kelompok diskusi berdasarkan apa yang mereka baca. Oleh karena itu, semua peserta yang membaca Bab 1, Bab 2, dst, akan ditempatkan di kelompok yang sama.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di atas meja.
Kelebihan: Pengelompokan semacam ini memungkinkan peserta berbagi perspektif yang ber­beda tantang bacaan yang sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana.
Kelemahan: fokusnya sempit (satu bab) dan kemungkinan akan berlebihan.
Pengelompokkan Hiterogen
Instruksi: Tempatkan para peserta yang memiliki nomor yang berbeda-beda untuk duduk ber­sama. Misalnya, setiap kelompok diskusi kemungkinan akan terdiri atas 4 individu: satu yang telah membaca Bab 1, satu yang telah membaca Bab 2, dsb.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di setiap meja. Biarkan para peserta mencari tempatnya sendiri sesuai bab yang telah mereka baca berdasarkan “siapa cepat ia dapat”.
Kelebihan: Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan pe­serta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca.
Kelemahan: Apabila satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/ didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi infor­masi.

Senin, 04 Juli 2011

Al Quran Berusia Ratusan Tahun Terawat



KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi
DOBO, KOMPAS.com — Al Quran yang diperkirakan berusia ratusan tahun di Desa Ujir, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, hingga kini masih utuh dan dirawat dengan baik oleh masyarakat setempat.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kepulauan Aru Moh Dahlan Ohoirenan di Dobo, Kepulauan Aru, Selasa, mengatakan, Al Quran berisi 30 juz itu masih utuh dan terawat dengan baik, tetapi tidak dimanfaatkan umat Islam. "Kondisinya masih terawat baik dan ditempatkan dalam masjid sebagai koleksi sejarah bernilai tinggi," ujarnya.
Al Quran tua tersebut oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Aru ditetapkan sebagai salah satu aset pariwisata sejarah yang bisa dinikmati para wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sana.
Menurut dia, masyarakat Kepulauan Aru mengakui, Desa Ujir merupakan desa Islam tertua di sana.
Dia mengatakan, Al Quran tua tersebut awalnya dijadwalkan dipamerkan saat perhelatan MTQ XXIV Tingkat Provinsi Maluku yang dibuka gubernur setempat, Karel Albert Ralahalu, di Dobo pada 21 Mei 2011.
"Kami awalnya menginginkan kehadiran Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu menyaksikan Al Quran tersebut dengan tujuan mengarahkan dinas teknis untuk mengirimkan tim guna meneliti umur pastinya, sekaligus melatih masyarakat merawatnya lebih baik," kata Dahlan.
Di Desa Ujir juga terdapat meriam tua peninggalan Portugis yang dilindungi perangkat desa setempat sebagai aset sejarah dalam mendukung pengembangan pariwisata. "Ujir juga memiliki pantai yang bersih dan airnya bening sehingga memiliki pesona bawah laut menarik untuk selam maupun mancing aneka jenis ikan," kata Dahlan

Muatan Lokal Al Quran di SD dan SMP


SURABAYA, KOMPAS.com — Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia Jawa Timur mendesak Pemerintah Kota Surabaya memasukkan kemampuan membaca Al Quran dalam muatan lokal kurikulum pendidikan SD dan SMP di Surabaya. Dengan demikian, diharapkan tidak ditemui lagi siswa lulusan SD dan SMP di Surabaya yang tidak mampu membaca Al Quran dengan baik.
'Selama ini pelajaran Al Quran hanya dijadikan pelajaran ekstra di sekolah. Ke depan, keahlian membaca Al Quran harus dijadikan salah satu syarat kelulusan siswa SD dan SMP di Surabaya," kata Sekretaris Umum BKPRMI Jatim Muhammad Syaikhuddin, Senin (27/6/2011) di Surabaya.
Syaikhuddin mengatakan, Surabaya hendaknya mencontoh beberapa daerah di Jatim yang sudah menerapkan kebijakan itu, seperti Kabupaten Jember, Probolinggo, dan Sidoarjo. Kewajiban memiliki kemampuan membaca Al Quran di daerah-daerah tersebut bahkan dituangkan dalam sebuah peraturan daerah.
Pengenalan pembelajaran Al Quran sejak dini juga dilakukan BKPRMI Jatim dengan mendesain model pendidikan anak usia dini (PAUD) berbasis Islam. Dalam hal ini, BKPRMI Jatim bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Surabaya. "Saat ini sudah ada sekitar 45 PAUD yang sudah berbasis Islam di Surabaya," katanya.

Toko Buku Indonesia Pertama di iPad



KOMPAS.com — Kompas Gramedia melaluiKompas.com membuat terobosan baru dengan meluncurkan aplikasi "Gramedia.com for iPad". Melalui aplikasi ini, Anda bisa membaca buku-buku berkualitas dari berbagai penerbit dalam Kelompok Gramedia di iPad.
Terobosan ini tentu saja membuat senang para penggemar buku. Anda bisa membeli buku berbahasa Indonesia lewat iPad dan membacanya kapan saja, di mana saja.
Selama ini, aplikasi iPad untuk membeli buku secaraonline baru dibuat pengembang luar. Sebut saja misalnya Kobo, Free Books, dan iBook (aplikasi yang sudah built-in di iPad). Namun, kita tidak bisa menemukan buku-buku berbahasa Indonesia.
Kehadiran aplikasi "Gramedia.com for iPad" ini akan memenuhi rasa dahaga membaca para penggemar buku-buku Indonesia. Buku-buku yang sudah Anda unduh, bisa Anda simpan di "Library".
Aplikasi ini bisa diunduh lewat App Store. Nah, Anda akan menemukan buku-buku yang sudah diterbitkan berbagai penerbit yang tergabung dalam Kelompok Gramedia.
Anda tidak bisa membaca buku ini gratis secara keseluruhan. Hanya bab pertama saja yang gratis (free first chapter), selebihnya jika Anda ingin membeli, Anda tinggal membelinya secara online. Harga setiap buku di "Gramedia.com for iPad" ini 75 persen dari harga jual di toko buku. Anggaplah Anda membalik-balikkan halaman buku ini untuk tahu apa isi buku ini.
"Untuk tahap awal, aplikasi 'Gramedia.com for iPad' menyediakan produk buku dari berbagai penerbit Kompas Gramedia. Berikutnya, buku-buku dari penerbit lain juga akan dapat dibeli di toko buku onlineini. Selain buku, dalam waktu dekat 'Gramedia.com for iPad' juga akan menawarkan majalah, tabloid, dan koran dalam bentuk replika digital," kata Edi Taslim, Business General Manager Kompas.com, Jumat (1/7/2011)

Mana yang Lebih Penting


Mama, Nina mau beli ha-pe (hand phone/telepon seluler),” rengekku suatu sore saat seisi rumah sedang berkumpul di ruang tamu.
Papa sedang membaca koran, Mama menyetrika baju, sedangkan Kak Lila mengerjakan tugas sekolah.
”Buat apa? Nina kan masih kecil. Menurut Mama, Nina belum membutuhkan ha-pe,” jawab Mama sambil memerhatikan aku.
”Iya, Nin. Untuk saat ini kamu memang belum memerlukan ha-pe. Apalagi sekarang kamu sudah kelas enam. Sebentar lagi ujian. Kebutuhan sekolah kamu makin banyak. Daripada buat beli ha-pe, lebih baik buat beli yang lain,” Papa ikut memberi nasihat.

AKU cemberut. Papa dan Mama memang pilih kasih. Kenapa mereka mengizinkan Kak Lila membawaha-pe ke sekolah, sedangkan aku tidak.
Kalau alasannya karena aku masih kecil, rasanya itu kurang tepat. Teman-teman sekelasku banyak yang bawa ha-pe.
”Mama pilih kasih. Kenapa Kak Lila boleh bawa ha-pe?” protesku.
”Kak Lila kan sudah SMA,” kata Kak Lila saat mendengar namanya aku libatkan.
Aku sudah menduga pembelaan seperti itu akan muncul dari Kak Lila maupun Papa dan Mama.
”Lagi pula, kan ha-pe Kak Lila dari uang sendiri, bukan Papa yang membelikan,” lanjut Mama.
”Jadi, kalau Nina punya uang sendiri, Nina boleh beli ha-pe?” aku kembali bertanya.
Mama diam. Kulihat beliau sedang melirik Papa yang masih sibuk membaca koran. Papa menghela napas sejenak sebelum bertanya kepadaku.
”Memangnya Nina punya uang?” Papa menatapku serius.
Aku mengangguk pelan.
”Nina akan menabung, Pa. Nina yakin tabungan Nina cukup buat beli ha-pe. Sekarang harga ha-pe kan tidak terlalu mahal,” jawabku bersemangat.
Kulihat Papa dan Mama berpandangan sejenak, sementara Kak Lila sibuk mengerjakan tugas tanpa komentar apa-apa.
”Boleh kan, Pa?” aku sangat berharap.
”Kamu yakin mau beli ha-pe?” Papa malah balik bertanya.
Aku mengangguk.
”Tetapi jangan sampai ha-pe itu mengganggu belajar kamu,” saran Papa.
Itu artinya, Papa sudah mengizinkan aku membeli ha-pe.
”Iya, Pa. Nina berjanji akan tetap rajin belajar,” aku berusaha meyakinkan Papa.
Akhirnya Papa mengizinkan juga aku memiliki ha-pe, dan sebentar akan segera terwujud.

PYAAAR...! Celengan ayam yang selama lebih dari setahun menghiasi meja kamarku itu pecah juga. Aku mulai mengisinya sejak masih kelas empat.
Awalnya aku menabung untuk persiapan masuk SMP. Setelah itu, aku berubah pikiran, mulai dari keinginan untuk membeli sepeda, sepatu, hingga terakhir aku ingin memutuskan untuk membeli ha-pe.
”Wah, dapat banyak nih...!” Kak Lila tiba-tiba muncul dan membantu mengumpulkan uang yang berhamburan di lantai.
”Kamu yakin akan menggunakan uang ini buat beli ha-pe?” tanya Kak Lila sambil menumpuk uang recehan berjejer di lantai.
”Iya. Memangnya kenapa? Kak Lila dulu juga menabung buat membeli ha-pe kan?” aku balik bertanya.
Kak Lila tersenyum. ”Mungkin yang dikatakan Papa kemarin ada benarnya juga. Sebentar lagi kamu masuk SMP.
Kebutuhan kamu masuk SMP pasti banyak sekali. Buku-buku baru, seragam, sepatu, alat-alat tulis, belum lagi harus membayar uang ini, uang itu.
Apalagi sekarang kondisi keuangan keluarga kita sudah tidak seperti dulu lagi seusai Papa dirawat di rumah sakit,” nasihat Kak Lila.
Aku tidak berkomentar sepatah kata pun.

”KAMU pasti berpikir semua itu akan menjadi tanggung jawab Papa dan Mama. Tetapi, tidak ada salahnya, sebagai anak kita membantu mengurangi tanggung jawab mereka,” lanjut Kak Lila seolah tahu apa yang ada dalam benakku.
”Jadi, menurut Kak Lila, aku tidak perlu membeli ha-pe?” tanyaku sedih.
”Bukannya tidak perlu, tetapi belum perlu. Ada baiknya kamu gunakan uang ini untuk keperluan yang lebih mendesak.”
”Maksud Kakak?” tanyaku bingung.
Tiba-tiba Kak Lila berdiri. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan menenteng sebuah sepatu hitam yang sudah butut.
Mataku melotot menatap sepatuku yang sebenarnya sudah tidak layak pakai, tetapi masih tetap aku pakai karena Papa belum membelikan sepatu yang baru.
”Menurut Kakak, membeli sepatu jauh lebih penting daripada ha-pe. Tanpa ha-pe, kamu masih bisa berangkat ke sekolah, tetapi tanpa sepatu kamu tidak bisa ke sekolah,” lanjut Kak Lila.
Aku mulai setuju dengan pemikiran Kak Lila. Tidak cuma sepatu, tetapi tas sekolah juga sudah butut dan perlu diganti. Awalnya, aku memang berharap Papa membelikan aku sepatu dan tas baru.
”Bagaimana..., masih ingin membeli ha-pe?” tanya Kak Lila setelah panjang lebar menasihatiku.

AKU buru-buru menggeleng. ”Kakak benar. Sepertinya sepatu dan tas lebih penting daripada ha-pe. Kakak bersedia mengantarkan aku beli sepatu kan?” tanyaku.
Kak Lila tersenyum. Dia terlihat lebih gembira dibanding aku.
”Tetapi aku boleh pinjam ha-pe Kakak kan?” rengekku.
”Buat apa?”
”Main game!”
”Jadi, selama ini kamu
ingin beli ha-pe hanya untuk main game saja? Padahal, fungsi ha-pe yang utama adalah sebagai alat komunikasi, bukan buat main-main,” kata Kak Lila.
Meski kakakku yang satu ini cerewetnya bukan main, aku sayang dia karena semua yang dikatakan Kak Lila memang benar dan bermanfaat buatku.

Buku Dongeng Lebih Hidup di Perangkat Tablet



Membacakan buku dongeng secara manual kepada anak memang rutinitas yang menyenangkan sebelum tidur. Namun, jika Anda harus meninggalkan anak ke luar kota dan tak bisa membacakan dongeng sebelum tidur, aplikasi buku untuk anak di iPad bisa jadi solusi saat ini.
Aplikasi buku dongeng yang sudah tersedia di iPad di antaranya buku "The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore" (5 dollar AS), "Angelina Ballerina's New Ballet Teacher" (1 dollar AS), "The Wrong Side of the Bed in 3D" (3 dollar AS), "Oh, the Thinks You Can Think!" (4 dollar AS), dan "Cars 2 Storybook Deluxe" (6 dollar AS).
Harga buku-buku digital ini lebih murah dari harga buku tradisional. Meski demikian, teks dan ilustrasi lebih hidup karena berbentuk tiga dimensi. Buku-buku interaktif untuk komputer tablet memang lebih menarik perhatian anak-anak dibandingkan game.
Hal yang pertama yang harus dingat saat membeli buku anak-anak di iPad adalah buku-buku ini juga tersedia untuk iPhone dan iPod Touch. Ada dua tempat untuk membeli buku ini yakni di iTunes App Store dan di iTunes Books Store. Pengguna iPad bisa membeli dari iTunes Books Store karena memiliki kategori khusus untuk anak dan remaja, serta menyediakan buku-buku anak bergambar.
Aplikasi dalam kategori tersebut menyediakan 41.000 buku yang mencakup suara, animasi, atau grafis yang merespon sentuhan pembaca. Hal ini bisa membantu anak-anak membaca buku secara interaktif dengan melibatkan mata, telinga, dan tangannya.
Apple juga memberi bantuan kepada orang tua untuk memilih buku-buku berkualitas. Terdapat pilihan servis review buku bernama Kirkus yang membantu orang tua mengetahui isi buku sebelum membelinya. Ada pula halaman web yang berisi daftar buku iPad terbaik bagi anak sepanjang tahun 2010.
Sumber :
The New York Times


Punya banyak koleksi buku? Masih ingatkah Anda, buku apa saja yang pernah dibaca dan apa inspirasi yang Anda dapatkan dari buku itu? Jika Anda menjawabnya, "Aduh, sudah lupa", atau bahkan sama sekali tak ada kesan dari buku yang Anda baca, bisa jadi, cara membaca yang diterapkan selama ini tidak efektif. Penulis buku "101,5 Inspirasi Kecerdasan Emosional Anak Muda" yang juga pakar EQ, Anthony Dio Martin membagi 3 cara yang bisa diterapkan untuk membaca secara efektif dan mendapatkan manfaat dari apa yang Anda baca. Apa saja triknya?
Pertama, terapkanlah teknik membaca kontemplatif. "Ketika membaca buku, jangan dari awal sampai akhir lewat begitu saja, kemudian lupa apa yang dibacanya," kata Anthony, di arena Pesta Buku Jakarta 2011, di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (3/7/2011).
Bagaimana cara membaca kontemplatif? Anthony menjelaskan, saat membaca buku, peganglah pensil atau pulpen. Beri catatan pada bagian yang menurut Anda menarik. Catatan itu bisa berupa komentar, ketidaksamaan pendapat atau apa pun.
"Itu kan buku Anda sendiri, tidak masalah jadi penuh coretan. Caranya, pegang buku, pegang pensil dan bolpen, corat coret. Biar saja. Kasih komentar di bagian yang dibaca. Coretan ini akan melatih, mencerdaskan pikiran Anda. Tandai, kasih komentar. Lingkari, kasih tanda seru atau memberi pendapat tentang apa yang Anda baca. Misal, anda tidak suka, tidak sependapat,dan sebagainya. Jangan biarkan buku tetap rapi," paparnya.
Trik kedua, buatlah mind mapping. Caranya, membuat garis besar isi buku setelah selesai membacanya.
Dan ketiga, berikan catatan pada notes kecil untuk mencatat ide yang muncul dari buku yang Anda baca. "Pengetahuan tidak ada artinya kalau tidak memunculkan ide. Misalnya, bikin catatan-catatan dari baca buku ini (yang dibaca), apa yang Anda dapatkan. Sebuah buku akan berkesan kalau berhasil membuat kita terinspirasi dan membuat kita punya ide untuk melakukan sesuatu," kata Anthony.

Pengganjal Lulus UN


Jakarta, Kompas - Matematika dan Bahasa Indonesia menjadi penyebab utama kegagalan siswa pada ujian nasional jenjang SMA/MA/SMK tahun 2011. Dari 11.443 siswa yang gagal, 2.392 siswa (51,44 persen) gagal pada mata pelajaran Matematika, sedangkan 1.786 siswa (38,43 persen) gagal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
”Kami belum tahu kenapa, masih kami analisis,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Jumat (20/5).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramly menduga siswa kurang cermat membaca soal-soal Bahasa Indonesia. Mayoritas soal adalah soal cerita. Siswa diduga kurang memahami konteks persoalan dalam materi ujian.
”Mungkin kebiasaan membaca siswa kurang. Apalagi membaca cepat. Soal-soalnya mirip tahun lalu, seharusnya tidak sulit,” kata Mansyur. Kalau dugaan itu benar, guru diharap mengajarkan anak terbiasa membaca dan memahami konteks.
Pada UN kali ini, 5 sekolah (total 147 siswa) tingkat kelulusannya nol persen, yakni SMA Abadi, Jakarta Utara (7 siswa), SMAN 3 Kabupaten Simeulue, Aceh (26 siswa), MA Nurul Ikhlas Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi (2 siswa), SMA LKMD Kian Darat Kabupaten Seram Timur, Maluku (48 siswa), dan SMAN Urei Fasei Kabupaten Waropen, Papua (64 siswa).
Kelimanya akan diperlakukan khusus. Bila tak digabung dengan sekolah lain, akan ada penguatan dengan meningkatkan kualitas sekolah dan guru. 'Tidak ada sekolah ditutup meski 100 persen siswanya tak lulus,” kata Nuh.
Tahun lalu perlakuan khusus diberikan kepada 100 kabupaten/kota dengan tingkat kelulusan UN nol persen. Nuh mengaku ada perbaikan kualitas pada sekolah-sekolah itu.
Perbesar peran sekolah
Pada dialog interaktif ”Menelaah UN” yang diadakan Dewan Perwakilan Daerah dikemukakan, evaluasi kelulusan jangan ditekankan pada kognitif, tetapi juga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Peran sekolah menentukan kelulusan harus mendapat porsi yang semakin besar. ”UN jangan jadi proses evaluasi yang menimbulkan ketidakadilan. Saya akan perjuangkan porsi nilai sekolah jadi 60 persen,” kata Reni Marlinawati, anggota Komisi X DPR. Tahun ini 40 persen.
Edi Subkhan dari Koalisi Pendidikan mengatakan, pendidikan Indonesia akan meningkat kualitasnya dengan fasilitas pendidikan memadai, guru berkualitas, dan manajemen sekolah yang baik. ”Bukan dengan menaikkan standar kelulusan UN yang membuat praktik-praktik pragmatis berkembang di sekolah, seperti adanya drilling dan try out agar lulus UN,” kata Edi.
Dari Temanggung, Jawa Tengah, data nilai sekolah 10 siswa yang dinyatakan tak lulus UN akan divalidasi ulang. Ada nilai yang tidak masuk pada 10 siswa SMK YP 17 itu. (LUK/ELN/EGI)


Pelajaran Matematika di Warung Ibu



Dodo sebal ketika ibu guru memberi pe-er Matematika. Pelajaran Matematika sulit menurut Dodo karena dia tidak pandai berhitung. Apa lagi soal cerita yang panjang membuat Matematika semakin susah dipahami.

SIANG ITU, sehabis makan dan istirahat, Dodo mulai mengerjakan pe-er.
Mama sibuk bekerja di warung, jadi terkadang tidak sempat membantu Dodo mengerjakan pe-er.
Papa juga sering lembur di kantor hingga malam. Dodo hampir putus asa menjawab pe-er soal Matematika yang diberikan Bu Susi.
”Dodo, tolong bantu Mama sebentar,” panggil mama tiba-tiba.
Dengan malas Dodo menuju warung di bagian depan rumah. Pasti mama minta dibantu, pikir Dodo. Benar saja, mama sangat sibuk melayani para pembeli.
”Coba tolong kamu hitung jumlah belanja Pak Danu ini. Kamu bisa lihat daftar harga barang di papan itu,” kata mama.
”Kalau salah bagaimana, Ma?” kata Dodo yang sebenarnya enggan membantu di warung.
”Kamu coba hitung dulu, nanti Mama periksa,” kata mama sambil terus melayani permintaan pembeli lain yang sudah mengantre.

DODO pun mulai menghitung harga barang dengan mencatatnya. Dia agak bingung ketika gula yang dibeli hanya setengah kilogram, padahal harga yang tertera di papan tulis adalah harga per kilogram.
”Berarti kamu bagi dua harga yang tertera di papan kalau gula yang dibeli hanya setengah kilogram,” mama menjelaskan.
”Kalau teh lima kotak berarti aku kalikan lima harga yang tertera di papan ya, Ma?” tanya Dodo.
Dodo mulai memahami bagaimana menghitung jumlah harga barang belanjaan.

KETIKA selesai menghitung, Dodo menyerahkan catatan itu kepada mama.
”Mama cek dulu apa hitungannya sudah betul,” kata mama. Lalu mama mengecek hitungan harga yang ditulis Dodo.
”Nah, sudah betul hitungannya. Serahkan belanjaan itu kepada Pak Danu dan sebutkan jumlah harga yang harus dibayar,” kata mama lagi.
”Ma, jumlahnya tiga puluh enam ribu lima ratus rupiah. Uang pak Danu lima puluh ribu, jadi kembalinya tiga belas ribu lima ratus rupiah. Betul, Ma?” tanya Dodo.
”Iya, betul,” jawab mama sambil tersenyum.
Setelah itu Dodo masih membantu mama menghitung jumlah harga belanjaan beberapa pembeli.
Makin lama Dodo makin cepat menghitung. Mama pun sangat senang Dodo membantu pekerjaan mama dengan baik.

TIDAK terasa hari telah sore. Mama menyuruh Dodo mandi, sementara mama menutup warung lalu menyiapkan makan malam.
Setelah itu Dodo melanjutkan mengerjakan pe-er dan belajar untuk persiapan pelajaran esok hari.
Ketika mengulang pe-er Matematika tadi siang, Dodo merasa ada yang berbeda. Soal yang panjang itu tidak terasa sulit dipahami. Hitungan angka juga mudah dikerjakan.
Akhirnya ketika pe-er Matematika dibahas di kelas, pekerjaan Dodo ternyata betul semua.
Bu Susi senang dengan hasil pekerjaan itu, Dodo pun heran melihat nilai sempurna untuk pe-er Matematikanya.
Sesampai di rumah, Dodo bercerita kepada Mama tentang nilai pe-er Matematika yang bagus.
”Wah, berarti ada dua keuntungan Dodo membantu Mama di warung. Pertama, Dodo mengurangi beban pekerjaan Mama, dan kedua Dodo jadi pandai berhitung,” mama memuji Dodo.
”Ya, Ma. Sekarang Dodo tidak benci pelajaran Matematika lagi,” kata Dodo.
SEJAK itu, Dodo tidak keberatan membantu mama di warung. Menghitung jumlah harga belanjaan pembeli ternyata mengasyikkan.
Ternyata berhitung tidak sulit kalau Dodo rajin berlatih. Pelajaran Matematika pun menjadi mudah, tidak lagi menjadi pelajaran yang dibenci, tetapi sebaliknya menjadi pelajaran yang disukai Dodo.
Veronica Kurnia W Penulis Cerita Anak, Tinggal di Yogyakarta

Teka Teki "3n+1" Mungkin Terpecahkan



KOMPAS.com — Teka teki matematika yang belum ditemukan jawabannya selama 74 tahun sebentar lagi mungkin akan terpecahkan. Adalah matematikawan dari Universitas Hamburg, Gerhard Opfer, yang mengklaim telah menemukan solusinya.
Teka teki matematika itu yang bernama Collatz Conjecture atau "3n+1" itu diajukan oleh Lothar Collatz pada tahun 1937. Teka teki itu melibatkan operasi bilangan bulat yang dilambangkan "n". Singkatnya, ada dua syarat yang berlaku dalam Collatz Conjecture. Jika bilangan bulat (n) adalah bilangan genap, maka dibagi dua (n/2) dan jika ganjil maka dikalikan 3 kemudian ditambah 1 (3n+1).
Nah, dalam Collatz Conjecture diungkapkan, jika operasi terus dilakukan berulang kali, berapa pun angka yang dipilih untuk memulainya akan selalu didapatkan angka 1 sebagai hasilnya. Verifikasi telah dilakukan hingga angka 5,76 x 10 (18). Namun, tanpa pembuktian matematis yang tepat, selalu ada kemungkinan bahwa angka yang sangat besar akan melenceng dari "hukum" ini. Pembuktian matematis inilah yang telah dimiliki oleh Opfer. Ia menuliskannya dalam paper yang kini telah masuk ke jurnalMathematics of Computation untuk ditinjau ulang sebab bisa saja pembuktiannya tak tepat.
Nah, apakah puzzle matematika ini nantinya akan benar-benar terselesaikan? Kita tunggu saja. Sementara menunggu, mungkin Anda bisa mencoba mengoperasikan angka berdasarkan Collatz Conjecture.
Coba ambil angka 6. Karena 6 genap, maka dibagi 2, hasilnya 3. Nah, 3 adalah bilangan ganjil, maka dikali 3 dan ditambah 1, hasilnya 10. Lalu, 10 dibagi 2 karena bilangan genap, hasilnya 5. Kemudian, 5 dikali 3 dan ditambah 1, hasilnya 16. Angka 16 dibagi 2, hasilnya 8. Kemudian 8 dibagi 2 hasilnya 4 dan 4 dibagi 2 lagi hasilnya 2. Angka 2 adalah bilangan genap, maka dibagi 2 lagi dan hasilnya 1. Nah, jika diurutkan, maka deretannya adalah 6, 3, 10, 5, 16, 8, 4, 2, 1. Untuk angka 6, berarti terbukti kebenarannya. Anda bisa mencobanya dengan mengambil angka lain. Mau lebih menantang, ambil angka yang besar.

"Bilangan Keramat" Baru dalam Matematika



KOMPAS.com - Matematika kini punya bilangan keramat baru, yakni 6,28. Bilangan keramat ini diperkenalkan oleh Bob Palais pada tahun 2001 sebagai pengganti 3,14 atau Pi yang biasa dikenal dalam perhitungan keliling dan luas lingkaran. Tahun lalu, bilangan keramat baru itu resmi dinamai "Tau" dan tanggal 28 Juni diperingati sebagai "Hari Tau".
Kalau Pi adalah rasio antara keliling lingkaran dan diameternya, 6,28 atau Tau adalah rasio antara keliling lingkaran dan jari-jarinya. Bilangan keramat itu dinilai lebih sakti daripada Pi sehingga dinobatkan sebagai pengganti. Bila bilangan keramat tersebut digunakan, beberapa konsep matematika menjadi lebih sederhana sehingga mudah dimengerti.
Kevin Houston, pendukung Tau dan matematikawan dari University of Leeds, Inggris, menerangkan dalam video di YouTube tentang kelebihan Tau. "Ketika mengukur sudut, matematikawan tidak menggunakan derajat, tetapi radian. Ada 2Pi radian dalam satu lingkaran. Ini berarti seperempat lingkaran setara dengan 1/2Pi. Ini berarti, seperempat setara dengan setengah. Ini gila," katanya.
"Mari kita pakai Tau. Seperempat lingkaran sama dengan seperempat Tau. Seperempat ya setara dengan seperempat. Bukankah ini lebih mudah untuk diingat? Demikian juga, tiga perempat lingkaran juga sama dengan tiga perempat Tau. Hal ini akan mencegah pelajar matematika, fisika dan teknik mengalami kesalahan konyol," terang Houston.
Dalam artikel berjudul "Pi is Wrong" di mana bilangan 6,28 diperkenalkan tahun 2001, Palais mengungkapkan bahwa selama ribuan tahun, manusia telah memfokuskan pada bilangan matematika yang salah. "Peluang untuk menarik pelajar dengan penyederhanaan yang natural dan cantik telah membawa ke latihan yang membingungkan dalam latihan serta dogma," tulis Palais.
Bila ternyata malah membuat bingung, haruskah Pi dihilangkan? Dikutip oleh Life Little Mysteries, Livescience, Rabu (29/6/2011), Houston berkomentar, "Pi tak harus dihilangkan. Saya memang pendukung Tau, tapi bukan anti Pi. Dengan demikian, siapa pun bisa memakai Pi jika mereka melakukan penghitungan yang melibatkan setengah Tau."
Bagi para guru matematika, konsep Tau juga bisa mulai diperkenalkan. Apalagi, berdasarkan penelitian yang dilakukan Palais, terbukti bahwa Tau berhasil meningkatkan kemampuan pelajar dalam mempelajari matematika, terutama dalam konsep geometri dan trigonometri di mana faktor 2Pi lebih sering digunakan.
Tau sendiri dipilih sebagai simbol bilangan keramat baru dalam matematika secara independen oleh fisikawan dan matematikawan penulis "The Tau Manifesto", Michael Hart dan pakar informasi asal Denmark, Harremoës. Tau dipilih karena kemiripannya dengan Pi sehingga cocok dengan ide beralih ke Tau.

Membuat Matematika Lebih Menyenangkan



JAKARTA, KOMPAS.com — Selama ini selalu ada cap "menakutkan" terhadap pelajaran Matematika. Padahal, pelajaran hitung-menghitung ini bisa dibuat menyenangkan. Bagaimana caranya?
Tokoh Sains dan Matematika Indonesia, Yohannes Surya menjelaskan, Matematika terasa menyenangkan ketika seseorang mengerjakan soal-soal Matematika dalam waktu yang cukup lama. Larut dalam keasyikan sehingga membuat seseorang cenderung tak ingin diganggu. Salah satunya dengan menggunakan alat peraga.
"Asyik dan menyenangkan. Ketika kita bicara asyik, kita cenderung tidak mau diganggu. Biasanya orang benci Matematika karena dianggap susah dan tidak menarik. Tapi dengan alat peraga, Matematika akan menjadi lebih mudah," kata Yohannes, Jumat (1/7/2011) di Jakarta.
Bagi mereka yang sudah menemukan keasyikan Matematika, pasti akan mengerjakan ribuan soal, seperti tidak mengerjakannya. "Puji terus biar tambah semangat. Terlebih jika mengemasnya dalam sebuah game atau lagu, itu akan sangat menyenangkan," ujarnya.
Ia berharap, dengan menyukai Matematika, logika anak akan berkembang. Selain itu, Matematika akan menjadi teman dan Sains akan disukai. Dengan menguasai Matematika, menurutnya, mempelajari Sains juga akan lebih mudah.
"Itu yang kita harapkan karena logika yang berkembang akan membantu dia (anak) dalam menyelesaikan masalah," tandasnya.
Membuat Matematika mudah
Yohannes juga mengatakan, harus ada perubahan persepsi terhadap Matematika. "Pendapat yang menganggap Matematika sebagai momok harus kita ubah. Karena Matematika begitu gampang dan semua orang bisa memahaminya. Saya yakin setiap anak bisa Matematika," ujarnya.
Untuk membantu anak cepat memahami Matematika, selain metode Gasing, cara lain bisa dilakukan dengan konsep bermain, dan lakukan latihan sesering mungkin. Jika sudah mengerti, dua jam sehari latihan mengerjakan soal Matematika akan terasa cepat karena sudah dianggap sebagai hal yang mengasyikkan.
"Jika sudah merasa asyik, anak akan merasa kurang hanya dengan dua jam. Di Papua, anak-anak yang saya ajari meminta enam jam setiap hari untuk latihan Matematika. Bahkan mereka bilang, mereka mau belajar Matematika sampai jam 10 malam, karena asyik," tandasnya.
"Dalam Matematika, mengerjakan soal bukan menguji, melainkan memuji. Semua orang suka dipuji, itu konsep yang selama ini belum dipakai orang," tambah Yohannes.

Reformasi Metode Pembelajaran Matematika



JAKARTA, KOMPAS.com — Tokoh Sains dan Matematika Yohannes Surya mengatakan, harus ada reformasi terhadap pola pembelajaran Matematika. Ia beranggapan perlu ada modifikasi dalam metode pengajaran Matematika. Menurut dia, metode dalam pembelajaran Matematika tidak akan bisa sempurna dan pasti mempunyai kekurangan. Ada metode yang cocok digunakan di suatu tempat, tetapi tidak cocok di tempat lainnya. Sebab, tingkat pemahaman, kemampuan, dan akses terhadap Matematika di beberapa tempat relatif berbeda.
"Mereka (pemerintah) punya metode. Tapi saya juga punya metode. Sekarang menurut mereka itu yang terbaik, ya mungkin memang baik. Tapi tidak mungkin akan baik untuk semuanya," kata Yohannes, Jumat (1/7/2011) di Jakarta.
Semua itu dikatakannya bukan tanpa landasan. Setidaknya ia telah menerapkan metodenya, yaitu metode Gasing (gampang, asyik, dan menyenangkan) kepada ribuan anak-anak di daerah, misalnya di Wonosobo dan pedalaman Papua. Berdasarkan penelitiannya, dalam waktu yang relatif cepat, anak-anak menjadi cepat mengerti dan "kecanduan" Matematika karena Gasing menggunakan konsep yang berbeda.
Meski begitu, ia tak ingin menyalahkan pihak mana pun. Menurut dia, setiap metode pembelajaran Matematika pasti akan mempunyai kelemahan tersendiri.
"Jadi ada beberapa metode saya yang baik digunakan di Indonesia timur, tetapi tidak baik untuk pusat. Tidak bisa satu metode itu baik untuk semua," tandasnya.
Ke depan, setelah berhasil diterapkan di daerah Indonesia timur, ia berharap Gasing dapat dimodifikasi dan diterapkan di daerah lainnya. "Setiap orang punya pandangan masing-masing. Pembuat kurikulum tak bisa disalahkan, mereka pakar pendidikan. Hanya memang perlu metode yang berbeda," tambahnya.

“GERAKAN” PENDEKATAN KONTEKSTUAL (baca: CTL)DALAM MATEMATIKA SEBUAH KEMAJUAN ATAU JALAN DI TEMPAT ?


Kemanakah arah pembelajaran matematika di sekolah kita sekarang ini?
Isu sentral yang kerap kali mewarnai pembelajaran matematika adalah seputar rendahnya kualitas hasil belajar matematika. Penafsiran tentang kualitas ini ada yang melihatnya dari produk yang diperoleh suatu lulusan berupa kemampuan intelektual matematika dan ada pula yang menafsirkannya sebagai suatu kesalahan berantai yang tidak hanya melihat dari hasilnya saja, tetapi meliputi juga prosesnya.
Apabila diamati, kesalahan seputar rendahnya nilai mata pelajaran matematika dipengaruhi juga sikap masyarakat (khususnya orang tua) itu sendiri yang memandangsecara sempit assessment pembelajaran matematika, yaitu jika rangking anaknya rendah, maka resahlah orang tua atau jika nilai raportnya rendah maka langsung menuding anaknya bodoh.
Isu lainnya yang juga tampak mengemuka adalah seputar kapasitas materi yang disampaikan, yaitu hingga saat ini belum banyak guru (secara perorangan) atau suatu sekolah manyampaikan materi/ soal-soal yang rutin maupun non rutin yang melatih siswa menjawab how? dan why? Atau tidak merangsang siswa berpikir kreatif, inovatif, dan alternative. Akibatnya, masih sedikit ditemukan guru maupun sekolah yang memperhatikankaidah percepatan belajar siswa (learning acceleration), yaitu melayani pengayaan pembelajaran pada anak unggul dan berbakat (gifted and talented) dan memperhatikan perbaikan belajar (remedial) pada anak yang rendah (lower).
Selain itu, dari hasil penelitian akhir-akhir ini berkembang pula isu seputar rendahnya kompetensi matematika guru dan calon guru. Hal ini menjadi penting mengingat faktor keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh strategi pembelajaran, sistem penilaian, interaksi di kelas, dan faktor guru. Itulah sekelumit problematika pembelajaran matematika di sekolah saat ini.
Upaya mengatasi berbagai isu pembelajaran matematika senantiasa dilakukan para pemerhati dan pengguna matematika. Pembaharuan dilakukan sebagai upaya keikutsertaan matematika dalam membentuk manusia berkualitas, yaitu tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan menggunakan matematika, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang transferable untuk memiliki daya pikir kritis, dalam hal ini kemampuan yang berupa :
§ (untuk tingkat dasar) kemampuan dasar reading literacy, pengetahuan bilangan(numeracy), dan pemecahan masalah sederahana.
§ (untuk tingkat menengah) menerapkan matematika di berbagai bidang (contextual mathematics) dan kemampuan memecahkan masalah sehari-hari.
Upaya perbaikan juga dilakukan dengan lebih mempertimbangkan berbagai pandangan/filsafat pembelajaran yang mutakhir, seperti bergesernya pandangan belajar dariteacher centre ke student centre atau lebih memfokuskan pada pandangan perkembangan mental (development mental) yang mengutamakan proses dengan tidak mengesampingkan pandangan tingkah laku (behavioristik) yang mengutamakan produk.
Para penentu kebijakan juga turut andil menyumbangkan pikirannya tentang inovasi mathematics learning yang biasanya mempertimbangkan aspek politik pemerintah guna pemenangan persaingan teknologi/sosial antarnegara yang makin global. Singkatnya, optimalisasi pembaharuan pembelajaran matematika seperti diuraikan di atas dilakukan bebagai pihak dalam bentuk:
  • perbaikan strategi belajar mengajar oleh guru;
  • inovasi model belajar melalui studi dan riset kalangan perguruan tinggi; dan
  • penyempurnaan assessment proses/produk belajar matematika.
Pada akhirnya, semua pembaharuan tersebut akan bermuara pada penyempurnaan kurikulum oleh penentu kebijakan.
Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaranmatematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning re-construction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikutirekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction,dan NCTM Standard for Assessment. Bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism, problem solving, problem posing, realistic mathematics education, open-ended approach, communication in mathematics,methacognitif model, cooperative learning, dan reinvention in mathematic.
Saat ini, inovasi pembelajaran matematika sebagai kata kunci untuk mengatasi problematika pembelajaran matematika di sekolah menengah diwujudkan dalam bentuk “gerakan pemerataan” teknik/model/ strategi/pendekatan pembelajaran matematika yang (katanya) mengakar pada kebutuhan dan kebiasaan realistik siswa di lingkungan hidupnya sehari-hari. “Barang baru” ini diberi nama pembelajaran matematika kontekstual (CTL- Contextual Teaching and Learning - diadopsi dari aslinyacontextual mathematics).
Penulis yang kebetulan berkesempatan mendapatkan penjelasan langsung dari “main instructor” CTL dari Univeristas Negeri Surabaya beruntung memperoleh penjelasan aslinya tentang apa itu CTL. Mengapa beruntung? Lazimnya sebuah pelatihan di negeri ini, makin jauh rentang komunikator utama suatu informasi ke komunikan paling bawah, biasanya cenderung makin banyak informasi berbeda.
Dilihat dari konsepnya yang paling menonjol, yaitu tujuh prinsip CTL, penulis memandang ini adalah sebuah pendekatan yang brilian. Tentu saja demikian, karena tidak mungkin para pakar yang nota bene menjadi penentu kebijakan inovasi pembelajaran mengadopsi suatu model yang tidak bagus atau asal-asalan. Hebatnya lagi,bak lahirnya sebuah bayi jenius, maka kelahirannya begitu didengung-dengungkan, disebarluaskan sampai ke lapisan paling bawah, seolah-olah inilah bayi jenius yang dinanti-nantikan (padahal bukankah sudah pernah lahir bayi jenius sebelumnya, atau mungkin bersamaan lahir pula bayi jenius lain – hanya tidak seberuntung bayi ini).Sebegitu hebatnya model pembelajaran ini tidak jarang penulis dengar bahwa para penyampai model ini memandang rendah dan tidak berguna model pembelajaran lain yang pernah ada dan lahir terlebih dahulu. Seolah lupa bahwa mereka yang kini menyampaikan model baru itu terlahir dan dibesarkan oleh model yang lama. Hebatnya lagi, model ini disebarluaskan dengan di-back up oleh seperangakat kebijakan dan sejumlah proyek pengembangan pendidikan yang nota bene dilakukan perangkat pemerintah.
Masalahnya sekarang, tidaklah semudah membalikan tangan mengubahbelieve guru dan siswa yang terbiasa melakukan pembelajaran matematika cara sebelumnya untuk mau berubah ke cara yang baru ini. Apalagi bila setelah dirasakan dan dilaksanakan ternyata terlalu banyak membebani beban kerja guru yang tidak seimbang dengan penghargaan kerja yang mereka dapatkan. Karena itu, penulis memandang perlu menganalisis model ini menurut cara pandang pengalaman mengajar guru. Pertanyaannya adalah Benarkah ini sebuah keunggulan? Yang paling unggul dibandingkan lainnya?
Penulis akan menganalisisnya melalui tujuh prinsip CTL, yang menurut penulis inilah jantungnya CTL, yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian yang autentik.
Konstruktivisme- Dalam pandangan ini strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingatpengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Sungguh sempurna bagi sebuah model pembelajaran yang mengedepankan siswa sebagai pusat belajar. Hal ini tidak dipungkiri oleh penulis. Tetapi, akankah ini terus dipakai dan diterapkan manakala guru harus menyampaikan pokok bahasan yang one way direction dan mengharuskan menyelesaikan materi dalam waktu cepat. Misalnya, sebuah ilustrasi soal sebagai berikut.Bagaimanakah menanamkan sebuah pengertian yang konstruktif tentang -2 – (-4) ? Haruskah membiarkan siswa bekerja dan menemukan pengertiannya melalui pemodelangaris bilangan (sebagaimana lazimnya dikembangkan selama ini), ataukah pemodelan yang lainnya? Menurut penulis sungguh membebani bahkan membuat repot siswa dalam bekerja. Tidakkah cukup ditanamkan konsep kurang sebagai invers dari tambah untuk kasus itu? Sederhana, bukan? Jadi, konstruktivisme bukanlah satu-satunya.
Menemukan – Dalam pengertian menemukan sebagai inquiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsipinkuiri sangat tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk induktif seperti materi-materi IPA. Meski bisa pula diterapkan materi lain selain IPA seperti bahasa Indonesia bahkan matematika. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada penyampaian konsep beraroma deduktif. Misalnya, menanamkan konsep-konsep geometri. Alhasil, prinsip ini tidaklah secara kaku dan wajib diterapkan kepada setiap pokok bahasan matematika.
Bertanya – Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya.kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Tak dapat dipungkiri lagi, kegiatan ini sangatlah menunjang setiap aktivitas belajar. Bukankah pengetahuan yang dimiliki seseorang biasanya berawal dari ”bertanya”. Dari sudut manapun penulis belum bisa memberikan counter terhadap ketidakbergunaan prinsip ini dalam setiap aktivitas belajar. Masalahnya, benarkah bila ini diklaim sebagai ciri aktivitas belajar yang hanyadimiliki oleh CTL? Tentu tidak sepakat bukan?
Masyarakat Belajar- Konsep masyarakat belajar (learning community)menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa. Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya. Bahkan penulis berkesempatan melakukan penelitian berbau komunikasi seperti ini, yaitu secara spesifik berupa komunikasi dalam ranah kemampuan membaca matematika. Hasilnya, seperti yang telah diduga sebelumnya bahwa ketidakoptimalan hasil belajar yang diharapkan dari pemberian perlakuan suatu teknik atau strategi yang baru berakar pada permasalahan yang klasik dan senantiasa menghantui pembelajaran matematika selama ini, yaitu pada masalah kurangnya penguasaan konsep dasar.Singkatnya, komunikasi dalam masyarakat belajar matematika dapat optimal bila komunikan dan komunikator memiliki penguasaan konsep dasar.
Pemodelan – Tampaknya, prinsip inilah yang menjadi primadona CTL dibandingkan dengan beberapa model pembelajaran lainnya. Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasiliitasi suatu model tentang “bagaimana cara belajar” baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri.Memang, setelah dipraktekan penulis, prinsip inilah yang paling sukar. Kesulitan yang sering muncul adalah merancang sebuah modeling tentang suatu konsep. Apalagi bila tuntutannya sempit, yaitu pemodelan yang terkait dengan konteks lingkungan siswa, bukan terkait dengan konteks apa yang sudah tertanam dalam diri siswa. Sebuah contoh klasik di kalangan para pengembang CTL untukl tingkat SLTP di antaranya kesulitan membuat pemodelan untuk konsep logaritma. Jadi, kesimpulannya, sungguh naïf bila dengan serta merta para pengembang CTL mengharuskan (mendoktrin) para guru untuk selalu menerapkan CTL sebagai satu-satunya model pembelajaran yang paling kapabel.Tidakah bahkan menjadi beban yang lain bagi para guru?
Refleksi – Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajaridan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Sepintas, inilah satu-satunya model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi. Padahal, jika kita mau jujur dengan pembelajaran model lain pun yang ada, semuanya memuat prinsip ini. Masalahnya, diformalkan atau tidak diformalkan bahwa refleksi sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran.
Penilaian autentik - Penilain jenis ini memandang bahwa kemajuan belajar diniliai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Memang, selama ini forma tes matematika cenderung menekankan pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Tetapi, apakah benar-benar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat dikembangkan dalam matematika. Ini perlu kajian mendalam. Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi (contoh) atau apa saja namanya tentang tes autentik. Perlu mendapat pertimbangan para pengembang CTL bahwa ada penelitian tentang portfolio sebagai salah satu bentuk tes autentik yang menyimpulkan bentuk tes ini tidak efektif dalam matematika di Indonesia.
Dari beberapa counter yang dilakukan penulis seperti di atas, penulis beranggapan bahwa CTL matematika bukanlah satu-satunya jalan keluar yang harus segera disebarluaskan untuk diterapkan seutuhnya oleh setiap sekolah. Justru penulis melihat satu hal mendasar yang senantiasa muncul dan bahkan selalu mewarnai ketidakberesan hasil pembelajaran matematika, yaitu tentang lemahnya penguasaan konsep dasar matematika yang dimiliki siswa maupun guru. Asumsinya, mau bagaimanapun model belajarnya, siapapun yang menyampaikannya, dan di tempat bagaimanapun berlangsungnya pembelajaran, jika dalam diri setiap peserta belajar telah tertanam penguasaan konsep dasar yang memadai, maka target ketuntasan hasil belajar dapat diraih.
Jika demikian adanya, apakah tidak berlebihan dengan “gerakan”penggunaan CTL sebagai satu-satunya model yang harus diterapkan setiap sekolah di negeri ini. Tidakkah lebih bijaksana bila model ini dipandang sebagai satu alternatif pembelajaran yang bisa dipakai para guru di sekolah, sehingga segala kebaikan yang dimiliki model ini tidak segera luntur karena ternodai oleh misi proyek semata. Kalau begitu, apakah “gerakan” pendekatan kontekstual matematika merupakan suatu kemajuan ataukah jalan di tempat?