Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Senin, 04 Juli 2011

Menjadi Guru Berkualitas


MINIMNYA jumlah guru berkualitas di Tanah Air menjadi wacana menarik belakangan ini. Dibilang menarik karena ada argumen, bahwa minimnya jumlah guru berkualitas senantiasa dikaitkan dengan minimnya juga kesejahteraan guru. Meski argumen itu dirasa tepat, namun sebetulnya mengandung kelemahan. Apakah ada jaminan ketika gaji para guru dinaikkan, maka kualitas mereka kian bertambah?
Di tengah sibuknya pemerintah melakukan sosialisasi program sertifikasi guru sebagai implementasi UU Guru dan Dosen, persoalan minimnya jumlah guru berkualitas tetap perlu diprioritaskan. Peningkatan kualifikasi akademik bagi guru sangat penting. Pasalnya, hanya dengan ijazah minimal S-1 atau diploma IV dan ditambah sertifikat pendidik, maka guru bisa menerima tunjangan profesi. Jika itu tak dilakukan, guru hanya mendapatkan tunjangan fungsional saja.
Di samping persoalan kualitas, guru juga memiliki beragam persoalan. Di antaranya, gaji guru rendah, kariernya sulit berkembang, serta merosotnya status sosial guru di tengah masyarakat. Akibatnya, guru menjadi profesi kelas dua atau terpinggirkan. Pada gilirannya, lembaga-lembaga pendidikan guru (baca: LPTK dan universitas eks IKIP) kesulitan mencari input calon mahasiswa yang cerdas, dan terutama memiliki minat mengabdi menjadi guru.
Sejauh diamati, persoalan minimnya guru berkualitas itu berpangkal dari lemahnya pembinaan guru saat ini. Menurut Prof HAR Tilaar (2006), kelemahan itu hanya bisa diatasi bila LPTK dan universitas eks IKIP mengalami reorganisasi dan restrukturisasi. Baik LPTK bentuk lama maupun universitas, keduanya tidak ditunjang keilmuan ilmu pendidikan yang terbaru. Akibatnya, ketika para guru itu mengajar suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku.
Jika seperti itu, sekolah hanya menjadi transfer ilmu pengetahuan semata, dan bukan sebagai lembaga pendidikan. Akibatnya, para lulusannya pun tidak bisa banyak diharapkan menjadi agen perubahan sosial (agent of social change); dan (jika menjadi guru) justru malah melestarikan pola pengajaran yang impulsif (coba-coba, trial and error). Guna mengatasinya, guru mestinya melakukan pola pengajaran yang bersifat reflektif.
Adapun yang dimaksud pengajaran reflektif ialah pengajaran yang tidak sebatas kognitif, melainkan juga menyentuh penentuan sikap dan komitmen dalam melakukan tindakan. Jika pendidikan itu dimaknai rangkaian tindakan para guru, maka guru harus bisa menjadi teladan bagi siswanya, dan terutama tidak sekadar menjadi “tukang mengajar”. Pasalnya, setiap perilaku guru akan dilihat dan ditiru oleh siswanya (Jawa: “guru” digugu lan ditiru, ‘dipatuhi dan diteladani’).
Dari paparan tersebut, ada satu hal penting yang bisa kita ingat. Bahwa, membangun pendidikan harus dimulai dengan pengadaan guru yang berkualitas, serta tersedianya sarana dan fasilitas belajar. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam kondisi apa pun, namun jika tak tersedia guru—baik secara kuantitas dan kualitas—maka sulit untuk melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas pula. Pendek kata, kualitas guru akan berbanding lurus dengan pendidikan.
Sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa yang juga tokoh pendidikan nasional, guru harus bersikap ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, guru harus mampu memberi contoh di depan bagi siswanya, mampu menciptakan peluang bagi siswanya untuk berkreasi, dan di belakang ia mampu memberikan dorongan bagi siswanya untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensi diri. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar