Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Senin, 04 Juli 2011

Mana yang Lebih Penting


Mama, Nina mau beli ha-pe (hand phone/telepon seluler),” rengekku suatu sore saat seisi rumah sedang berkumpul di ruang tamu.
Papa sedang membaca koran, Mama menyetrika baju, sedangkan Kak Lila mengerjakan tugas sekolah.
”Buat apa? Nina kan masih kecil. Menurut Mama, Nina belum membutuhkan ha-pe,” jawab Mama sambil memerhatikan aku.
”Iya, Nin. Untuk saat ini kamu memang belum memerlukan ha-pe. Apalagi sekarang kamu sudah kelas enam. Sebentar lagi ujian. Kebutuhan sekolah kamu makin banyak. Daripada buat beli ha-pe, lebih baik buat beli yang lain,” Papa ikut memberi nasihat.

AKU cemberut. Papa dan Mama memang pilih kasih. Kenapa mereka mengizinkan Kak Lila membawaha-pe ke sekolah, sedangkan aku tidak.
Kalau alasannya karena aku masih kecil, rasanya itu kurang tepat. Teman-teman sekelasku banyak yang bawa ha-pe.
”Mama pilih kasih. Kenapa Kak Lila boleh bawa ha-pe?” protesku.
”Kak Lila kan sudah SMA,” kata Kak Lila saat mendengar namanya aku libatkan.
Aku sudah menduga pembelaan seperti itu akan muncul dari Kak Lila maupun Papa dan Mama.
”Lagi pula, kan ha-pe Kak Lila dari uang sendiri, bukan Papa yang membelikan,” lanjut Mama.
”Jadi, kalau Nina punya uang sendiri, Nina boleh beli ha-pe?” aku kembali bertanya.
Mama diam. Kulihat beliau sedang melirik Papa yang masih sibuk membaca koran. Papa menghela napas sejenak sebelum bertanya kepadaku.
”Memangnya Nina punya uang?” Papa menatapku serius.
Aku mengangguk pelan.
”Nina akan menabung, Pa. Nina yakin tabungan Nina cukup buat beli ha-pe. Sekarang harga ha-pe kan tidak terlalu mahal,” jawabku bersemangat.
Kulihat Papa dan Mama berpandangan sejenak, sementara Kak Lila sibuk mengerjakan tugas tanpa komentar apa-apa.
”Boleh kan, Pa?” aku sangat berharap.
”Kamu yakin mau beli ha-pe?” Papa malah balik bertanya.
Aku mengangguk.
”Tetapi jangan sampai ha-pe itu mengganggu belajar kamu,” saran Papa.
Itu artinya, Papa sudah mengizinkan aku membeli ha-pe.
”Iya, Pa. Nina berjanji akan tetap rajin belajar,” aku berusaha meyakinkan Papa.
Akhirnya Papa mengizinkan juga aku memiliki ha-pe, dan sebentar akan segera terwujud.

PYAAAR...! Celengan ayam yang selama lebih dari setahun menghiasi meja kamarku itu pecah juga. Aku mulai mengisinya sejak masih kelas empat.
Awalnya aku menabung untuk persiapan masuk SMP. Setelah itu, aku berubah pikiran, mulai dari keinginan untuk membeli sepeda, sepatu, hingga terakhir aku ingin memutuskan untuk membeli ha-pe.
”Wah, dapat banyak nih...!” Kak Lila tiba-tiba muncul dan membantu mengumpulkan uang yang berhamburan di lantai.
”Kamu yakin akan menggunakan uang ini buat beli ha-pe?” tanya Kak Lila sambil menumpuk uang recehan berjejer di lantai.
”Iya. Memangnya kenapa? Kak Lila dulu juga menabung buat membeli ha-pe kan?” aku balik bertanya.
Kak Lila tersenyum. ”Mungkin yang dikatakan Papa kemarin ada benarnya juga. Sebentar lagi kamu masuk SMP.
Kebutuhan kamu masuk SMP pasti banyak sekali. Buku-buku baru, seragam, sepatu, alat-alat tulis, belum lagi harus membayar uang ini, uang itu.
Apalagi sekarang kondisi keuangan keluarga kita sudah tidak seperti dulu lagi seusai Papa dirawat di rumah sakit,” nasihat Kak Lila.
Aku tidak berkomentar sepatah kata pun.

”KAMU pasti berpikir semua itu akan menjadi tanggung jawab Papa dan Mama. Tetapi, tidak ada salahnya, sebagai anak kita membantu mengurangi tanggung jawab mereka,” lanjut Kak Lila seolah tahu apa yang ada dalam benakku.
”Jadi, menurut Kak Lila, aku tidak perlu membeli ha-pe?” tanyaku sedih.
”Bukannya tidak perlu, tetapi belum perlu. Ada baiknya kamu gunakan uang ini untuk keperluan yang lebih mendesak.”
”Maksud Kakak?” tanyaku bingung.
Tiba-tiba Kak Lila berdiri. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan menenteng sebuah sepatu hitam yang sudah butut.
Mataku melotot menatap sepatuku yang sebenarnya sudah tidak layak pakai, tetapi masih tetap aku pakai karena Papa belum membelikan sepatu yang baru.
”Menurut Kakak, membeli sepatu jauh lebih penting daripada ha-pe. Tanpa ha-pe, kamu masih bisa berangkat ke sekolah, tetapi tanpa sepatu kamu tidak bisa ke sekolah,” lanjut Kak Lila.
Aku mulai setuju dengan pemikiran Kak Lila. Tidak cuma sepatu, tetapi tas sekolah juga sudah butut dan perlu diganti. Awalnya, aku memang berharap Papa membelikan aku sepatu dan tas baru.
”Bagaimana..., masih ingin membeli ha-pe?” tanya Kak Lila setelah panjang lebar menasihatiku.

AKU buru-buru menggeleng. ”Kakak benar. Sepertinya sepatu dan tas lebih penting daripada ha-pe. Kakak bersedia mengantarkan aku beli sepatu kan?” tanyaku.
Kak Lila tersenyum. Dia terlihat lebih gembira dibanding aku.
”Tetapi aku boleh pinjam ha-pe Kakak kan?” rengekku.
”Buat apa?”
”Main game!”
”Jadi, selama ini kamu
ingin beli ha-pe hanya untuk main game saja? Padahal, fungsi ha-pe yang utama adalah sebagai alat komunikasi, bukan buat main-main,” kata Kak Lila.
Meski kakakku yang satu ini cerewetnya bukan main, aku sayang dia karena semua yang dikatakan Kak Lila memang benar dan bermanfaat buatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar