Selamat Datang

Terima Kasih telah Berkunjung di Blog saya, jangan lupa komenya.

Senin, 04 Juli 2011

KTSP dan Dpirit Perubahan Sekolah


DALAM banyak kasus, saat ini para guru mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kurikulum baru, yakni kurikulum di tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum yang merupakan produk dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) itu disusun berdasarkan dua standar. Yakni, standar isi dan standar kompetensi lulusan, yang keduanya telah disusun dan diujipublikkan pada tahun 2006 lalu.
Namun, persoalannya, apakah KTSP bisa membawa iklim perbaikan mutu dalam dunia pendidikan? Atau, KTSP akan mengalami nasib serupa seperti apa yang dialami kurikulum-kurikulum sebelumnya (KBK, CBSA, dst) yang baik di tataran konsep namun kedodoran di tataran praksis? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi PR untuk direalisasikan oleh para pelaksana kurikulum, yang tak lain tak bukan, ialah guru di kelas.
Secara jujur, implementasi KTSP masih diwarnai minimnya sosialisasi dan persiapan guru. Alhasil, para guru memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang KTSP. Dari fenomena itulah, kemudian berkembang plesetan di kalangan guru; bahwa KTSP ialah kepanjangan dari “Kurikulum Tidak Siap Pakai”, atau “Kurikulum Terserah Sekolah Panjenengan.” Adalah wajar jika banyak kalangan masih meragukan prospek keberhasilan implementasi KTSP.
Misalnya, mereka bertanya bagaimana mungkin KTSP berhasil diterapkan di sekolah jika para guru masih juga mengalami kebingungan dalam menangkap konsep, substansi, dan mekanisme pelaksanaan KTSP. Juga, bagaimana mungkin KTSP yang lebih menitikberatkan pada penguasaan praktik ketimbang teori an sich bisa berhasil dilaksanakan kalau pihak sekolah belum menyediakan sarana pembelajaran di sekolah secara adekuat?
Sebetulnya, kemunculan KTSP yang dianggap sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK) merupakan suatu terobosan yang patut diacungi jempol. Pasalnya, sebagai roh dari pembelajaran, kurikulum hendaknya tidak statis. Untuk itulah, kurikulum haruslah mengikuti perkembangan zaman, artinya disesuaikan dengan kondisi dan potensi pemangku kepentingan pada tiap-tiap satuan pendidikan (baca: sekolah).
Itulah sebabnya, saya setuju dengan opini Dr Ace Suryadi (2006) bahwa kurikulum tidak sepantasnya dibuat seragam dan kaku. Pengembangan kurikulum, apa pun jenisnya, haruslah dimaknai sebagai bagian dari dinamika pembelajaran yang berlandaskan pada karakteristik pemangku kepentingan dan lingkungan di sekitarnya. Demikian pula dengan KTSP yang pelaksanaannya di sekolah dibatasi hingga tahun 2009 mendatang.
Muncullah pertanyaan, mengapa pelaksanaan KTSP dibatasi hingga tahun 2009? Bukankah 2009 merupakan tahun berakhirnya pemerintahan SBY-JK saat ini? Jika demikian, berarti setelah 2009 dipastikan akan ada kurikulum baru yang muncul menggantikan KTSP sampai tahun 2014. Ini menjadi bukti bahwa sampai kapan pun, adagium yang bernada kekecewaan: “ganti menteri pendidikan, ganti kurikulum”, tidak akan pernah hilang.
Seharusnya, adagium itu tidak perlu muncul kembali jika pemerintah mau melakukan penelitian secara mendalam tentang ketidakefektifan pelaksanaan dari sebuah kurikulum. Hingga adanya pergantian dari KBK menjadi KTSP, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tidak pernah mengumumkan ke publik tentang apa sajakah yang menjadi kendala dari pelaksanaan KBK, dan sejauhmanakah kurikulum tersebut sudah dilaksanakan.
Secara jujur, langkah pemerintah dalam mengimplementasikan KTSP pada tahun 2007, sebetulnya perlu diimbangi dengan langkah pemenuhan fasilitas serta sarana pembelajaran di sekolah. Pasalnya, KTSP lebih berorientasi pada hal-hal yang mengacu pada penguasaan kemampuan praktik (skill) ketimbang segala teori dan konsep pengetahuan. Konkretnya, pemerintah harus memikirkan bagaimana sarana dan fasilitas belajar di sekolah tersedia manakala KTSP diterapkan.
Jika tidak, standar-standar yang dipatok BSNP, terutama guna menunjang terlaksananya KTSP, akan disangsikan. Apa pasal? Sebabnya, kondisi obyektif di dunia pendidikan, khususnya di daerah-daerah masih memprihatinkan. Kita masih jumpai ketiadaan alat-alat laboratorium, langkanya bahan bacaan di perpustakaan, ambruknya gedung/ruang sekolah, minimnya gaji guru, rendahnya mutu siswa, dan segala kekurangan sejenisnya.
Pendek kata, kita masih jumpai disparitas fasilitas pendidikan antarsekolah dan antarwilayah di Tanah Air. Terlebih, jika wilayah/daerah itu tergolong daerah rawan bencana, kelak fasilitas dan sarana pembelajaran akan rusak dan amat perlu diganti. Misalnya, di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah, yang terkena gempa pada 27 Mei 2006 lalu. Belum lagi, daerah di ujung bagian timur Indonesia, seperti Papua.
Di samping itu, hal yang sangat penting, yakni pelaksanaan KTSP di tahun ajaran baru nantinya perlu diimbangi dengan sosialisasi dan persiapan guru dalam menyongsong model pemilihan materi, pembuatan indikator, dan strategi belajar. Oleh karenanya, efektif-tidaknya pelaksanaan KTSP di sekolah, terutama dalam hal penciptaan kualitas pendidikan haruslah dilihat dari sejauhmana kompetensi guru yang mengajar dan melaksanakan kurikulum tersebut.
Guna terciptanya kelancaran implementasi KTSP, kita perlu melihat sejauhmana guru melakukan perbaikan kualitas dirinya. Perbaikan itu digunakan dalam pengembangan KTSP yang berlandaskan empat kompetensi guru. Yaitu, kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Dengan begitu, kelak siswa-siswa nantinya tidak semata-mata jago dalam teori, tetapi juga mereka bisa dikatakan berhasil dalam penguasaan kemampuan praktik.
Artinya, keberhasilan yang diraih siswa terlebih dulu didesain oleh guru-guru yang berkompeten. Dalam konteks belajar sehari-hari, misalnya, guru kreatif akan menyusun pembelajaran yang tidak sekadar sebagai kegiatan transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi, lebih dari itu, ia akan arahkan pembelajaran yang menuju pemahaman dan kompetensi siswanya. Di sini, kita lihat terjadinya spirit guru untuk mengubah orientasi implementasi kurikulum di kelas.
Adapun perubahan itu terletak pada penggunaan pendekatan, dari awalnya pendekatan fungsional menjadi pendekatan kontekstual. Demikian pula suasana pembelajaran yang dulunya kaku, kini menjadi menyenangkan. Dulu sasarannya hanya kognitif, kini menjadi kognitif-emosi-sosial. Dulu berdasarkan tingkah laku siswa, kini menjadi keterbukaan pada hasil penemuan siswa. Apakah KTSP juga mengandung spirit perubahan semacam itu? Kita tunggu saja…[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar